Dari Cetak ke Digital: Perpustakaan dan Arsip UGM Jadi Rujukan Perpustakaan UNAIR dalam Kebijakan Serah Simpan Karya Ilmiah

Perubahan kebijakan serah simpan karya ilmiah dari format cetak ke digital kian menguat di lingkungan perguruan tinggi. Isu strategis ini menjadi pokok bahasan dalam kunjungan studi banding Perpustakaan Universitas Airlangga (UNAIR) ke Perpustakaan dan Arsip Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa (30/9/2025).

Kunjungan dipimpin oleh Kepala Perpustakaan UNAIR, Prof. Dr. Rahma Sugihartati, Dra., M.Si., bersama tiga staf. Mereka diterima langsung oleh Kepala Perpustakaan dan Arsip UGM, Arif Surachman, SIP., MBA., beserta jajaran manajemen. Pertemuan berlangsung dalam suasana akrab, dengan diskusi intensif seputar praktik terbaik digitalisasi karya ilmiah.

“Perubahan dari cetak ke digital adalah kebutuhan mendesak. Kami ingin mengetahui bagaimana UGM menerapkan kebijakan ini agar bisa kami adopsi sesuai konteks UNAIR,” ujar Prof. Rahma.

Arif Surachman menjelaskan, UGM telah menghentikan penerimaan karya akhir dalam bentuk fisik sejak 2012. “Sejak 2012 semua karya akhir sudah digital. Bahkan sejak 2022 ada SK Rektor yang mewajibkan unggah mandiri karya akhir oleh mahasiswa,” jelasnya. Ia menambahkan, sistem unggah mandiri kini terintegrasi dengan sistem wisuda, dengan pustakawan sebagai verifikator yang bertugas memastikan kelengkapan berkas mahasiswa.

Dewi Nurhastuti, S.Sos., Pustakawan UGM, menuturkan bahwa alur unggah mandiri diatur secara rinci. “Dalam surat edaran sudah ada tahapan mulai dari pengurusan bebas pustaka hingga unggah mandiri karya akhir,” katanya. Hal itu diperkuat oleh Yulistiarini Kumaraningrum, S.P., M.M., Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi UGM, yang menekankan pentingnya regulasi resmi. “Surat edaran ditandatangani langsung oleh Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, sehingga memiliki kekuatan legal,” ujarnya.

Meski sistem sudah berjalan, UGM masih menghadapi dilema keterbukaan akses. “Pertanyaan besar yang masih kami hadapi adalah apakah file karya akhir bisa diakses secara open access penuh atau hanya terbatas,” tutur Arif.

Terkait akses, Haryanta, pustakawan UGM, menjelaskan bahwa file Electronic Theses and Dissertations (ETD) hanya dapat diakses penuh melalui jaringan lokal. “Jika diakses dari luar komputer ETD, yang bisa dilihat hanya judul, abstrak, daftar isi, dan daftar pustaka,” ungkapnya.

Dari pihak UNAIR, Prasasti Arianto, A.Md., memberikan masukan teknis. “Tampilan ETD sebaiknya diubah dari PDF ke flipbook. Dengan begitu, risiko file diunduh tanpa izin bisa ditekan,” sarannya.

Diskusi ini tidak hanya membahas aspek teknis, tetapi juga mempertegas kontribusi kedua universitas dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Perluasan akses digital selaras dengan SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), penguatan tata kelola akademik mencerminkan SDG 16 (Institusi yang Kuat), sementara kolaborasi UGM–UNAIR sejalan dengan SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

Studi banding ini menegaskan bahwa digitalisasi karya ilmiah bukan sekadar soal format, melainkan strategi menyeluruh yang mencakup kebijakan, aksesibilitas, dan keamanan. Kolaborasi Perpustakaan dan Arsip UGM dengan Perpustakaan UNAIR menjadi bukti nyata bahwa sinergi antarperguruan tinggi mampu mempercepat terciptanya ekosistem akademik digital yang transparan, inklusif, dan berkelanjutan.

Kontributor: Wasilatul Baroroh