Kamis, 8 Mei 2014, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM serta Yayasan Pustaka Obor Indonesia berkesempatan untuk membedah buku hasil disertasi Doktor bidang Ilmu Politik Universitas Padjajaran dengan judul "Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas". Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di Kalimantan Barat yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sekadau.
Dalam acara bedah buku ini, Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si selaku penulis hadir sebagai pembicara bersama dengan Abdul Gaffar Karim, M.A. (JPP Fisipol UGM), dan Dr. Yanis Musdja (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai moderator. Selama kurang lebih dua jam, peserta bedah buku diajak untuk melihat realita identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, yang telah terangkum dalam 224 halaman buku.
Marjinalisasi yang dialami suku Dayak di Kalimantan Barat, bahkan semenjak masa penjajahan Belanda, membuat mereka memiliki ikatan emosional sesama etnis yang tinggi. Perlakuan yang berbeda dalam aspek pembangunan, pendidikan, serta kesehatan membangkitkan semangat putra Dayak untuk memperjuangkan hak-hak dengan cara berkonsolidasi memilih tokoh Dayak demi kesejahteraan masyarakat mereka. Semangat kebangkitan suku Dayak inilah yang melatarbelakangi Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si menuliskan buku ini.
Menurut Sri Astuti, etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung introvert. Akan tetapi mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Mereka cenderung termarjinalkan dan didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Meski demikian, ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat. Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok di mana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari etnis Dayak.
Politik identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Politik identitas mengacu pada tindakan politik yang mengedepankan kesamaan identitas atau karakteristik yang berbasis pada ras, etnis, jender, atau agama. Dalam kasus ini, masyarakat Dayak berkonsolidasi untuk memilih dan memenangkan tokoh Dayak untuk memimpin sebagai Gubernur pada Pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007.
Sri Astuti juga mengatakan bahwa politik identitas adalah penting dilakukan di tempat tertentu dalam konteks memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat, asalkan mereka tidak menjadi etnosentrisme. Adanya demokrasi dan desentralisasi di era reformasi ini juga membuka kesempatan bagi tokoh Dayak karena orang lokal-lah yang memahami kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Abdul Gaffar Karim menambahkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki masalah identitas sejak dulu mengingat keberagaman Indonesia yang sangat majemuk. Batas alamiah dari politik identitas adalah masalah kesejahteraan. Menurut beliau, isu identitas tidak akan muncul apabila tidak ada marjinalisasi terhadap identitas tertentu. Ekspresi identitas dapat dilakukan selama mengedepankan equality dan tidak mengganggu ekspresi identitas yang lain.
Jadi, bisa dikatakan bahwa buku ini sangat menarik karena mencoba menjelaskan problematika identitas di Indonesia.
Kontributor: Cahya