Membaca Relasi Kuasa dengan Membedah Buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”

acara bedah buku

“Buku merupakan token of power, dimana penghancuran buku tidak berawal dari niatan untuk menghancurkan dunia, melainkan ingin mengarahkan pengetahuan apa yang harus diketahui manusia,” papar Dr. Abdul Gaffar Karim dalam acara Bedah Buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan UGM pada 20 Februari 2018.

Sebelumnya ia menjelaskan di hadapan para mahasiswa dan pustakawan yang menghadiri acara tersebut, bahwa pengetahuan adalah salah satu resource yang diperebutkan dan dikompromikan, dan buku merupakan sarana untuk merekam pengetahuan. Sehingga ketika terjadi upaya penghancuran buku, Gaffar melihat ini sebagai upaya untuk mempertahankan atau memperebutkan kuasa agar tetap di tangannya (aktor penghancur buku), sehingga kuasa atas ilmu pengetahuan tidak bergeser ke orang lain.

Pada kesempatan kali ini, Gaffar yang merupakan dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM memang mengulas buku yang ditulis oleh Fernando Baez ini dalam sudut pandang politik, yaitu bagaimana relasi kuasa berlangsung atas tragedi penghancuran buku. Sehingga dalam menutup paparannya ia mengatakan, “Upaya manusia dalam mencatat pengetahuan adalah prestasi kuasa tertinggi, sedangkan buku menjadi simbolisasi utama atas relasi kuasa tersebut.”

Sedangkan Rosmi Julitasari Soerdjadinata yang merupakan penerjemah buku “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa” mengutip Fernando Baez bahwa buku merupakan lembaga ingatan bagi konsentrasi dan permanensi, dan karenanya harus dipelajari kepingan kunci dari warisan budaya masyarakat. Selain itu, buku sebenarnya menempati posisi yang sangat tinggi di masyarakat, karena merupakan wakil dari budaya suatu masyarakat. Sehingga, buku apa yang sedang digandrungi oleh masyarakat, adalah gambaran dari masyarakat itu sendiri.

Buku The Enemies of Books karya William Blades yang menginspirasi Fernando Baez, menjelaskan bahwa musuh dari buku yang sulit dihindari adalah manusia yang melakukan pengabaian, kebodohan dan kefanatikan sehingga memutuskan untuk memusnahkan buku. Sehingga, bagi Lita cara terbaik untuk menyelamatkan buku dari pemusnahan adalah dengan membacanya, lebih baik lagi jika bisa menulis ulasannya. Selain itu, Lita juga menambahkan bahwa pustakawan pun memiliki peran yang penting dalam menjaga buku dari pemusnahan. (cahya)